"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

19 April 2011

Syubhat Orang-orang Kafir dalam Ide-ide Mereka

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan perkataan orang-orang kafir Quraisy kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Dan mereka berkata kepadamu :’Kami sekali-kali tidak akan percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami,

Atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya,

Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami

Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan sekali-kali kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca’.

Katakanlah :’Maha Suci Tuhan-ku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?’.” (terjemah QS. 17 : 90-93)

Allah juga berfirman :

“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata :’Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah’. Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan”. (terjemah QS. 6 : 124)

Andai saja ada seorang raja di sebuah negeri, kemudian ada seseorang atau sekelompok orang yang mengingkari bahwa raja tersebut adalah penguasa di negeri itu, dan mereka menuntut darinya sebuah bukti bahwa dia adalah penguasa nengeri tersebut. Mereka berkata padanya : “Jika benar engkau berkuasa di negeri ini, maka batu ini yang ada dalam wilayah kerajaanmu; pindahkanlah dia dari tempat ini ke tempat yang lain!”.

Raja berkata : “Aku akan melakukannya sekarang”. Ia pun memindahkan batu itu!

Kemudian yang lain mengatakan lagi : “Aku tidak percaya bahwa engkau adalah penguasa di negeri ini sampai engkau memindahkan pena itu dari tempatnya!”

Raja berkata : “Aku akan melakukannya”. Ia pun memindahkan pena itu!

Yang lain lagi berkata : “Aku ingin engkau mencuci gelas ini!”.

Yang lain juga ikut berkata : “Jika engkau ingin aku mempercayai kekuasaanmu, maka aku mengharuskan engkau membunuh si fulan!”…

Saudaraku … Kita pastikan bahwa penguasa yang selalu menuruti ide-ide, keinginan-keinginan dan permintaan-permintaan tersebut, tidak ragu lagi adalah orang yang bodoh.

Akan tetapi, penguasa yang menghargai dirinya sendiri pasti akan berkata : “Siapa yang ingin mengetahui bahwa aku adalah penguasa di negeri ini, maka hendaknya dia bertanya agar dia mengetahui bahwa akulah yang membentuk pemerintahan, menunjuk menteri, membuat perjanjian dengan negara lain, membentuk angkatan perang, dan mengumumkan perang.

Adapun memindahkan batu, pena, atau mencuci gelas; semua itu dilakukan setiap orang di negaraku ini. Jadi, siapa yang ingin mengenalku, maka kenalilah aku dengan pekerjaan-pekerjaan itu yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang raja!”.

Bagi Allah perumpamaan yang terbaik. Kalau saja Allah menjadikan jalan keimanan itu dengan memenuhi semua keinginan dan permintaan orang-orang kafir; maka setiap orang kafir pasti akan memberikan ide, atau memberikan syarat, yang seandainya Allah memenuhi keinginan mereka itu pasti akan rusaklah alam ini. Orang ini akan mensyaratkan bagi keimanannya agar Allah menjadikan siang sebagai malam, malam sebagai siang. Yang itu akan meminta Allah menjadikan laki-laki sebagai perempuan, dan perempuan sebagai laki-laki. Yang lain lagi mensyaratkan Allah menjadikan bumi sebagai langit, dan langit sebagai bumi. Ada juga yang akan mensyaratkan bagi keimanannya itu agar Allah membunuh orang tertentu atau menghancurkan suatu bangsa. Rusaklah keteraturan di alam ini. Allah ta’ala berfirman :

و لو اتبع الحق أهواءهم لفسدت السموات و الأرض و من فيهن، بل أتيناهم بذكرهم قهم عن ذكرهم معرضون

“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkankepada mereka kebanggaan mereka, tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (terjemah QS. 23 : 71)

10 April 2011

Tauhid al Asmaa' dan ash Shifaat

Tauhid al-Asma wa ash-Shifat adalah beriman dan yakin terhadap setiap nama dan sifat Allah, yang Allah sendiri sifatkan bagi Diri-Nya di dalam al-Qur’an dan yang disifatkan oleh rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang shahih, secara hakiki tanpa tahrîf, takyîf, ta’thîl, tamtsîl dan tanpa tafwîdh.

Tahrîf adalah merubah lafadz atau makna sebuah nama atau sifat Allah Ta’ala kepada makna yang bukan makna sebenarnya.

Takyîf adalah menggambarkan (visualisasi) sifat-sifat Allah, atau mempertanyakan kaifiyyat (substansi) dari sifat tersebut.

Ta’thîl adalah menolak dan mengingkari sebagian atau seluruh nama-nama atau sifat-sifat Rabb Yang Maha Mulia.

Sementara tamtsîl (atau kadang diistilahkan dengan tasybîh) adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk ciptaan-Nya.

Adapun tafwîdh adalah menyerahkan makna nama atau sifat tersebut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut para ulama Salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, tafwîdh hanya pada al-kayf (hal, keadaan), tidak pada maknanya.

Contoh untuk memahami kaedah ini adalah firman Allah : “Ar-Rahman (Tuhan Yang Maha Pemurah) yang ber-istiwâ’ (bersemayam) diatas ‘Arsy”. [terjemah QS. 20 ayat 5]

Sikap yang benar bagi seorang mukmin terhadap ayat ini adalah :

1. Beriman bahwa salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla adalah istiwâ’ (bersemayam) diatas ‘Arsy.

2. Beriman bahwa manusia mengetahui makna dari kata tersebut, karena demikianlah Allah menyampaikan kata itu kepada manusia. Sangat mustahil bila Allah mengabarkan sesuatu yang tidak dipahami oleh para hamba-Nya.

Beriman bahwa tidak seorang pun yang tahu hakikat/ substansi dari sifat tersebut, namun hanya Allah saja yang mengetahuinya.

4. Beriman bahwa seluruh nama dan sifat Allah adalah “husnâ” (sangat baik dan indah) sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya, dan tidak satu pun makhluk yang semisal dengan-Nya.

5. Tidak melakukan tahrîf atau men-takwîl (menafsirkan) kata “istawâ” dengan pengertian yang tidak bersesuaian dengan pengertian asal dari kata tersebut, misalnya dengan mengatakan maksud dari kata itu adalah “berkuasa” (istilâ’) dan bukan “bersemayam” (istiwâ’).

6. Tidak melakukan takyîf terhadap sifat tersebut, yaitu dengan memvisualisasikan (menggambarkan) atau mempraktekkan atau mempertanyakan substansi dari sifat itu.

7. Tidak melakukan ta’thîl, yaitu dengan menafikan atau mengingkari keberadaan sifat tersebut bagi Allah Ta’ala.

8. Tidak melakukan tamtsîl / tasybîh, yaitu dengan menyerupakan sifat Allah tersebut dengan sifat salah satu dari makhluk ciptaan-Nya. Kalau saja sesama makhluk memiliki perbedaan sifat yang sangat nyata walaupun sama dalam nama, maka bagaimana mungkin membandingkan sifat antara makhluk yang lemah dengan al-Khâliq (Sang Pencipta) Yang Maha Sempurna.

9. Tidak melakukan tafwîdh terhadap makna sifat tersebut, yaitu dengan menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mengetahui makna dari sifat “istiwâ’”, hanya Allah saja yang mengetahui makna dari sifat tersebut.

Demikianlah sikap yang benar bagi seorang muslim berkenaan dengan ayat tersebut, dan demikianlah aqidah yang benar dalam masalah ini.

Kaedah-kaedah yang disebutkan berkenaan dengan sifat istiwâ’ diatas berlaku pula untuk seluruh sifat-sifat Allah yang lainnya seperti al-Kalâm (berbicara, QS. 4 : 164), ar-Rahmah (kasih sayang, QS. 6:54), ar-Ridho’ (kerelaan, QS. 98:8), al-Ghadab (murka, QS. 4:93) dan lain-lain.



Aqidah Imam asy-Syafi’i rahimahullah

Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah dan bagaimana keimanan beliau terhadap sifat tersebut, maka beliau menjawab :

“Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat, yang telah disebutkan dalam Kitab-Nya dan dikabarkan nabi-Nya kepada umatnya. Tidak ada keleluasaan bagi seorang pun dari para hamba Allah yang telah sampai padanya hujjah (dalil) untuk menolaknya karena al-Quran telah turun menjelaskannya dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perkataan tentangnya dengan apa yang diriwayatkan orang-orang terpercaya dari beliau.

Jika orang tersebut menyelisihinya setelah sampainya hujjah, maka dia kafir. Adapun sebelum sampainya hujjah, maka dia memiliki uzur karena kejahilannya. Karena ilmu tentang hal itu tidak mungkin dicapai dengan akal, tidak pula dengan penglihatan dan pemikiran semata. Seorang pun tidak boleh dikafirkan dengan kejahilan kecuali setelah sampai berita kepadanya. Dia menetapkan sifat-sifat tersebut dan menolak tasybih sebagaimana Allah telah meniadakan tasybih dari Diri-Nya. Allah berfirman:

’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat’.”

(Ijtimâ’ al-Juyûsy al-Islâmiyyah, Ibnul Qayyim. Kutipan ayat adalah terjemahan QS. 42:11)

Demikianlah aqidah Imam asy-Syafi’i. Semoga Allah merahmati beliau. Amin…